Sukabumi – Republiknews.com – Selamat Hari Anak Nasional! Hari di mana anak-anak diperingati, didoakan, dan dijanjikan banyak hal indah—selama mereka tinggal di kota, tentu saja.
Anak-anak kota sungguh beruntung. Mereka punya taman bermain bersertifikat, sekolah dengan pendingin ruangan, imunisasi yang datang ke rumah, dan pendampingan psikolog kalau sampai stres karena PR terlalu banyak.
Bahkan kalau tidak punya orang tua pun, ada lembaga yang siap mendampingi. Sungguh menyentuh.
Sementara itu, anak-anak di desa? Ah, mereka kuat. Mereka jalan kaki 5 km ke sekolah tanpa alas kaki dan tetap tersenyum.
Mereka makan nasi garam dan tetap tumbuh (walau pendek dan kurang gizi sedikit, tak apa). Mereka tidak perlu taman bermain—sungai, sawah, dan jalan rusak sudah cukup seru.
Tidak usah repot-repot mendatangkan psikolog ke sana, karena trauma dianggap biasa. KDRT? “Urusan rumah tangga.” Pernikahan anak? “Adat istiadat.” Kerja di ladang sejak umur 10? “Latihan mandiri.”
Tapi jangan khawatir, setiap tahun pemerintah datang membawa spanduk: “Anak Terlindungi, Indonesia Maju.”
Lalu mengadakan lomba mewarnai, bagi-bagi susu kotak, dan selfie bersama anak-anak desa yang belum tentu bisa membaca isi spanduknya. Setelah itu? Sampai jumpa tahun depan!
Apa yang salah dari semua ini? Tidak ada. Semua berjalan sebagaimana biasa. Ketimpangan sudah menjadi budaya yang tidak perlu dibahas terlalu serius.
Toh anak desa tidak protes. Mereka sibuk membantu orang tua, menikah muda, atau berhenti sekolah karena tidak ada ongkos.
Mungkin perlindungan anak itu seperti sinyal internet—kuat di kota, hilang di desa. Atau mungkin seperti gizi—lengkap di brosur, minim di piring. Entahlah.
Yang jelas, di Hari Anak Nasional ini, mari kita ucapkan selamat pada anak-anak kota.
Dan untuk anak-anak desa—tetap kuat, ya! Karena ternyata menjadi anak yang tangguh itu bukan pilihan, tapi takdir… yang ditentukan oleh letak geografis.
(Budi AF)



















