Oleh: Fajri Syahiddinillah
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) selalu menjadi ajang politik yang sarat dengan berbagai dinamika, tidak hanya dalam hal pertarungan ide dan gagasan, tetapi juga dalam aspek ekonomi, khususnya yang melibatkan media massa.
Media massa, sebagai aktor utama dalam penyebaran informasi, memegang peran sentral dalam membentuk opini publik dan menentukan arah perdebatan politik.
Namun, peran ini tidak sepenuhnya netral karena adanya pengaruh ekonomi politik yang mengatur ruang gerak media.
Dalam konteks Pilkada, media massa sering kali menjadi lahan subur bagi kepentingan ekonomi, terutama melalui iklan politik dan pemberitaan yang cenderung berpihak.
Kampanye politik tidak hanya menjadi alat komunikasi kandidat, tetapi juga komoditas bernilai ekonomi yang diperebutkan oleh berbagai pihak.
Kampanye Politik: Komoditas Media Massa
Kampanye politik dalam Pilkada kerap dipenuhi dengan berbagai bentuk iklan politik, baik dalam media cetak, televisi, maupun platform digital.
Iklan-iklan ini tidak hanya menjadi sarana untuk memperkenalkan kandidat, tetapi juga menjadi sumber pendapatan utama bagi media massa.
Sebuah laporan menunjukkan bahwa pada tahun-tahun Pilkada, pendapatan media dari sektor politik meningkat tajam, menggambarkan bagaimana media menjadi “ladang bisnis” di tengah hiruk-pikuk demokrasi.
Namun, tidak semua kandidat memiliki akses yang sama terhadap media. Kandidat dengan modal besar lebih mampu membeli ruang iklan dan mendapatkan pemberitaan yang menguntungkan,
Konsolidasi Kepemilikan Media dan Kepentingan Politik
Dalam lanskap media Indonesia, konsolidasi kepemilikan menjadi salah satu isu utama. Banyak media besar dimiliki oleh konglomerat yang memiliki hubungan erat dengan aktor politik tertentu.
Hubungan ini sering kali memengaruhi independensi media dalam meliput Pilkada.
Berbagai studi menunjukkan bahwa media yang dimiliki oleh pemodal dengan afiliasi politik tertentu cenderung memihak kandidat yang sejalan dengan kepentingan pemiliknya.
Berita-berita yang seharusnya obyektif sering kali menjadi alat propaganda untuk mendukung kandidat tertentu, sekaligus menyerang lawannya.
Fenomena ini tidak hanya terjadi pada media konvensional, tetapi juga merambah ke media digital dan media sosial.
Dampak terhadap Demokrasi Lokal
Ketergantungan media pada iklan politik dan afiliasi ekonomi-politik membawa implikasi serius bagi demokrasi lokal.
Pertama, ketimpangan akses terhadap media membuat masyarakat kehilangan peluang untuk menilai semua kandidat secara adil. Kandidat independen yang mengusung gagasan inovatif sering kali kalah bersaing hanya karena keterbatasan modal.
Kedua, fenomena politik uang dalam media mengaburkan batas antara informasi publik dan propaganda.
Ketika berita dikuasai oleh kepentingan ekonomi, masyarakat tidak lagi mendapatkan informasi yang benar-benar obyektif.
Akibatnya, proses pengambilan keputusan dalam Pilkada menjadi kurang berdasarkan rasionalitas dan lebih pada manipulasi opini.
Menuju Media yang Beretika dan Berimbang
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan regulasi yang lebih tegas terkait pendanaan kampanye dan transparansi iklan politik.
Media harus diawasi agar tetap memegang prinsip independensi dan tidak menjadi alat bagi segelintir kelompok berkepentingan.
Selain itu, masyarakat perlu diberdayakan melalui literasi media.
Kemampuan untuk menganalisis dan memahami bias media menjadi kunci untuk melindungi diri dari manipulasi informasi.
Media independen juga perlu didukung sebagai alternatif bagi masyarakat untuk mendapatkan berita yang obyektif dan berimbang.
Kesimpulan
Dinamika ekonomi di balik kampanye Pilkada mencerminkan kompleksitas hubungan antara media massa dan politik di Indonesia.
Di satu sisi, media menjadi alat penting dalam demokrasi, tetapi di sisi lain, kepentingan ekonomi sering kali mengaburkan peran tersebut.
Untuk menjaga integritas demokrasi, diperlukan upaya kolektif dari semua pihak untuk memastikan bahwa media massa tetap menjadi ruang publik yang netral, bukan sekadar alat untuk kepentingan ekonomi dan politik tertentu.