Republiknesw.com – Para pelaksana program revitalisasi dan para suplier tampaknya sudah tidak lagi takut menggunakan barang di bawah spesifikasi.
Terutama untuk material atap baja ringan, yang seharusnya wajib berlabel SNI (Standar Nasional Indonesia).
Padahal regulasi sudah sangat jelas.
Kewajiban penggunaan produk ber-SNI diatur dalam:
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian, yang menegaskan bahwa produk yang beredar di Indonesia wajib memenuhi standar nasional demi keselamatan, keamanan, kesehatan, dan pelestarian lingkungan.
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2018 tentang Sistem Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian Nasional, yang mewajibkan produsen dan pelaku usaha hanya memperdagangkan produk yang telah memenuhi SNI apabila telah ditetapkan secara wajib.
Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 5 Tahun 2017 (dan perubahan-perubahannya), yang secara spesifik menetapkan bahwa produk baja lembaran dan turunannya, termasuk baja ringan, merupakan produk dengan SNI wajib.
Artinya, tidak ada alasan bagi siapapun—baik pelaksana proyek maupun penyedia barang—untuk menggunakan baja ringan tanpa SNI dalam proyek pemerintah.
Namun di lapangan, kenyataannya sungguh berbeda. Penggunaan material tanpa SNI bukan lagi pengecualian, melainkan seolah menjadi kebiasaan.
Untuk program revitalisasi sekolah, misalnya. Di beberapa SMP, pola yang muncul cukup mencurigakan: suplier yang dipilih sama, meskipun di sekitar lokasi ada banyak toko SIPLah lain yang layak dan resmi. Lebih ironis lagi, barang yang disuplai ternyata belum berlabel SNI.
Apakah ini sekadar kebetulan?
Atau sudah ada aktor intelektual yang mengatur jalannya permainan dari balik meja — mulai dari pemilihan toko, spesifikasi material, hingga proses pengawasan di lapangan?
Kalau dibiarkan, praktik seperti ini bisa menjadi penyakit laten di tubuh proyek pemerintah.
Revitalisasi yang seharusnya meningkatkan mutu fasilitas pendidikan, malah menjadi revitalisasi budaya abai dan kompromi.
(Budi)



















