Example floating
Example floating
Ekonomi & BisnisOpiniSukabumi

Akankah Koperasi Merah Putih Bernasib Sama seperti PUAP dan KUT?

×

Akankah Koperasi Merah Putih Bernasib Sama seperti PUAP dan KUT?

Sebarkan artikel ini
Koperasi Merah Putih
Ilustrasi

Sukabumi – republiknews.com – Di tengah riuh rendah ekonomi rakyat yang terseok-seok, kehadiran Koperasi Merah Putih seolah menjadi suluh kecil di ujung lorong panjang yang gelap.

Sebuah isyarat bahwa mungkin, hanya mungkin, negeri ini masih sanggup menghadirkan harapan di luar pidato seremonial dan baliho penuh janji.

Namun, sejarah kita, seperti biasa, punya kebiasaan getir: mengingatkan bahwa euforia seringkali hanya sekadar pengantar menuju kekecewaan massal.

Di atas kertas, gagasan Koperasi Merah Putih terdengar nyaris seperti dongeng ekonomi mikro: menyejahterakan petani, nelayan, dan UMKM yang selama ini hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian.

Tetapi mari kita bertanya dengan sedikit kewarasan: sudahkah kita benar-benar cukup belajar dari nestapa PUAP (Program Usaha Agribisnis Pedesaan) dan KUT Koperasi Usaha Tani), dua maha karya kegagalan yang dikemas dengan jargon pemberdayaan rakyat?

PUAP dan KUT pernah menjanjikan revolusi kesejahteraan. Alih-alih, yang kita saksikan adalah revolusi administrasi kacau dan pertunjukan akrobat keuangan yang berujung pada parade ketidakjelasan.

Dana yang mengalir deras, entah menguap ke mana, meninggalkan petani dan nelayan tetap setia berteman dengan kemiskinan—hanya kini dengan tambahan trauma institusional.

Mengapa? Karena di negeri ini, pengawasan kerap diartikan sebagai formalitas belaka, akuntabilitas diperlakukan seperti opsional, dan loyalitas terhadap kepentingan kolektif sering tersungkur di altar kepentingan pribadi.

Kini, Koperasi Merah Putih datang menawarkan lembaran baru. Sayangnya, kita terlalu sering membaca novel serupa untuk tidak merasa skeptis. Label koperasi, betapapun merah-putihnya, tidak otomatis memurnikan niat, apalagi menjamin integritas.

Dalam banyak kasus, koperasi justru berubah menjadi kendaraan elitis baru—tempat segelintir orang mengibarkan bendera kesejahteraan sambil mengisi saku masing-masing dengan penuh khidmat.

Yang dibutuhkan saat ini bukan sekadar narasi manis dan tabel pertumbuhan fiktif, melainkan praktik nyata: pengelolaan berbasis prinsip, partisipasi anggota yang riil, dan transparansi yang bukan hanya jargon dalam rapat tahunan.

Tanpa itu, Koperasi Merah Putih hanya akan menjadi artefak kegagalan berikutnya, satu tambahan lagi dalam museum program-program baik niat buruk hasil.

Pertanyaannya sederhana namun menohok: apakah kita cukup dewasa untuk berhenti percaya begitu saja? Apakah kita cukup berani untuk menuntut pertanggungjawaban—

bukan sekadar menerima laporan tahunan berbingkai foto-foto tersenyum? Atau, sekali lagi, kita akan duduk manis di tribun, bertepuk tangan pada tiap pidato,

lalu berpura-pura terkejut ketika semua ini berakhir dengan kisah usang: uang lenyap, rakyat tertinggal, elite tetap berjaya.

Waktu akan berbicara, tentu saja. Tetapi kita, masyarakat yang mulai jengah diperlakukan seperti anak-anak yang bisa dibius dengan poster dan spanduk, harus mengambil peran.

Sebab jika tidak, Koperasi Merah Putih akan tetap menjadi apa yang paling kita kuasai: mimpi yang dideklarasikan dengan penuh semangat, lalu dilupakan dengan penuh keanggunan.

(Dika)

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *