Example floating
Example floating
Opini

“Polri untuk Masyarakat”: Ketika Pelayan Hukum Menjadi Tuan Kekuasaan

×

“Polri untuk Masyarakat”: Ketika Pelayan Hukum Menjadi Tuan Kekuasaan

Sebarkan artikel ini

RepublikNews.com – Setiap 1 Juli, bangsa ini seolah dipanggil untuk berdiri tegak, menunduk hormat, dan mengucap: “Selamat Hari Bhayangkara.” Sebuah hari besar yang katanya memperingati lahirnya Kepolisian Republik Indonesia.

Tapi masyarakat tahu, ini bukan sekadar ulang tahun institusi — ini panggung tahunan tempat janji ditebarkan, dan kepercayaan diuji, lalu dilupakan… sampai tahun depan.

Tahun ini temanya menggemaskan: “Polri untuk Masyarakat.” Terdengar manis, seperti slogan bungkus permen rasa keadilan. Tapi begitu digigit, rasanya pahit, getir, dan entah kenapa… menyisakan rasa takut.

Dalam demokrasi, aparat keamanan lahir untuk melindungi rakyat. Namun dalam praktiknya, rakyat justru sering merasa perlu dilindungi dari aparat. Ironi macam apa ini?

Kita menyaksikan polisi begitu cepat bertindak bila yang mengadu berpangkat, bersorban kekuasaan, atau bertitel pejabat.

Tapi saat ibu-ibu kehilangan anaknya karena kasus kekerasan, atau nelayan dibungkam karena menolak tambang, laporan mereka tersesat entah di laci mana.

Mungkin perlu disertai “surat pengantar dari langit” agar direspons.

Kalau tema tahun ini adalah “Polri untuk Masyarakat,” mohon diperjelas: masyarakat yang mana?

Di televisi, kita disuguhkan citra polisi ramah, membantu menyeberangkan anak sekolah, memberi sembako, hingga potong rambut gratis.

Tapi di jalanan, kita mendengar kabar warga yang ditembak karena mengangkat suara.

Sepertinya, wajah humanis Polri hanya eksis di slot iklan layanan masyarakat — bukan di pos polisi tempat laporan dipersulit.

Ketika hukum jadi alat negosiasi, dan aparatnya lebih sibuk menjaga kehormatan institusi ketimbang membela hak warga, maka kita sedang menyaksikan transformasi aparat penegak hukum menjadi penjaga pagar yang menakuti isi rumah.

Tak bisa disangkal, banyak anggota Polri yang jujur, bekerja dalam diam, bahkan bertaruh nyawa. Namun sayangnya, mereka tidak viral.

Yang viral justru yang main hakim sendiri, pamer gaya hidup mewah, dan menangis di depan kamera setelah ketahuan.

Di zaman ini, kamera bukan lagi alat bukti, tapi alat seleksi empati. Jika tertangkap kamera, aparat bisa ditegur. Jika tidak, maka rakyat harus sabar — atau pasrah.

Maka ketika institusi kepolisian lebih sibuk membenahi citra di medsos ketimbang memperbaiki etika di lapangan, kita patut bertanya: Apakah kepolisian kita butuh reformasi struktural, atau cukup upgrade filter Instagram?

Selamat Hari Bhayangkara ke-79. Semoga tema “Polri untuk Masyarakat” tidak sekadar lips service tahunan, tapi benar-benar menjadi cermin untuk bercermin — meski pantulan wajahnya mungkin tak seindah narasinya.

Dan jika Polri memang ingin dicintai rakyat, maka mulailah bersikap seperti pelayan hukum, bukan seperti pemilik hukum. Karena di republik ini, rakyat bukan tamu. Mereka pemilik rumah.

(Budi.AF)

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *