republiknews.com – Dalam kalender demokrasi lima tahunan, pesta rakyat kerap dipromosikan dengan jargon semeriah karnaval. Spanduk berkibar, baliho menyala, dan jargon-jargon perubahan berseliweran di setiap tikungan jalan.
Tapi di balik kemeriahan semu itu, ada pola yang terus berulang seperti sinetron jam tujuh malam: kepala daerah lengser, digantikan oleh anaknya. Atau istrinya. Atau adiknya. Atau semua di atas, bergiliran.
Inilah bentuk demokrasi plastik—fleksibel dalam prosedur, kaku dalam substansi. Sebuah sistem yang terlihat terbuka, tapi sejatinya hanya berpindah tangan dalam satu klan.
Di mana kursi kepala daerah lebih mirip harta pusaka: diwariskan dengan penuh kehormatan, dijaga dari luar oleh pagar partai, dan dibungkus rapi oleh legitimasi suara rakyat.
Para pewaris tak pernah mengaku sebagai dinasti. Mereka menyebutnya “regenerasi kepemimpinan.” Sebuah frasa yang terdengar progresif, padahal lebih dekat ke pemeliharaan trah.
Anak muda dari rakyat jelata harus mendaki gunung meritokrasi, tapi anak penguasa cukup muncul di tasyakuran kantor dan unggah video “blusukan” ke pasar—maka lengkaplah portofolio elektabilitasnya.
Lucunya, semua tetap berjalan sesuai prosedur. Partai politik dengan penuh semangat menominasikan anak mantan pejabat.
Media lokal berlomba-lomba mengangkat sisi humanisnya—dari hobi memelihara kucing sampai cerita masa kecilnya yang “rendah hati meski anak pejabat.”
Publik pun, seperti biasa, diberi pilihan yang hanya tampak beragam di permukaan. Seolah demokrasi adalah memilih antara teh manis, teh tawar, dan teh botol… dari pabrik keluarga yang sama.
Tak perlu heran. Di negeri ini, popularitas lebih penting dari kompetensi. Nama belakang lebih menentukan dibanding gagasan. Dan kekuasaan, seringkali, lebih mudah diwariskan daripada dipertanggungjawabkan.
Lebih menyedihkan lagi, masyarakat mulai terbiasa. Kata mereka, “Yang penting anaknya baik,” atau “Daripada orang luar yang nggak ngerti daerah sini.”
Sebuah pembenaran kolektif yang lahir dari kelelahan panjang menghadapi sistem politik yang stagnan, sekaligus bukti bahwa feodalisme bisa hidup subur dalam bungkusan demokrasi.
Birokrasi pun ikut menyesuaikan. Para pejabat daerah belajar cepat cara menyambut “calon pengganti” jauh hari sebelum masa jabatan berakhir. Mereka paham betul, loyalitas bukan soal peraturan, tapi silsilah.
Maka tak heran jika setiap seremonial pemerintah perlahan berubah menjadi panggung gladi resik pewarisan tahta.
Sementara partai politik? Sudah lama meninggalkan fungsi rekrutmen kader. Kini mereka lebih mirip agen properti: menjual tiket pencalonan kepada mereka yang punya nama, uang, dan tentu saja, hubungan darah.
Ideologi tinggal jargon. Seleksi tinggal formalitas. Yang penting elektabilitas—dan itu, biasanya ikut mengalir dalam darah biru.
Ironisnya, semua ini sah secara hukum. Tak ada aturan yang melarang anak atau istri mantan kepala daerah mencalonkan diri. Dan di situlah letak kecanggihan politik dinasti: ia bekerja bukan dengan melanggar hukum, tapi dengan menyiasatinya secara sempurna.
Memanfaatkan celah, menunggangi sistem, dan mendekorasi ambisi kekuasaan dengan bahasa demokrasi yang manis di telinga.
Tapi rakyat tidak bisa terus disuguhi demokrasi imitasi. Demokrasi bukan soal siapa yang mencalonkan, tapi siapa yang punya kesempatan setara untuk dipilih.
Bukan soal siapa yang dikenal, tapi siapa yang layak. Dan bukan soal silsilah, tapi visi dan keberanian untuk berubah.
Jika tidak, kita akan terus terjebak dalam sirkus lima tahunan yang menghibur tapi membodohi. Di mana pemilu hanya jadi momen reuni keluarga besar, dan rakyat cuma jadi penonton yang ditanya pendapatnya… setelah tiketnya dibeli oleh sponsor.
Karena dalam demokrasi yang sehat, kekuasaan adalah amanah.
Tapi dalam demokrasi plastik, kekuasaan adalah warisan keluarga—dibungkus retorika, diantar baliho, dan disahkan oleh tepuk tangan massa.
(BAF/Win’s/Roy)