Republiknews.com – Di tengah gegap gempita transformasi digital dan revolusi industri yang entah sudah sampai titik nol keberapa, birokrasi desa di pelosok negeri justru sudah lebih dulu melesat ke masa depan.
Namun bukan menuju masa depan transparansi atau partisipasi publik—melainkan masa depan kekuasaan absolut terpusat. Sebuah sistem di mana satu orang bisa merangkap tiga jabatan, empat peran, lima fungsi, dan enam dalih pembenaran.
Inilah Kepala Desa 3in1: seorang kepala desa yang juga menjabat sebagai bendahara dan sekaligus Tim Pengelola Kegiatan (TPK). Manusia super versi lokal, yang diyakini mampu berpikir strategis, mengeksekusi teknis, menyusun anggaran, dan mencairkan dana sendiri. Efisiensi tingkat dewa. Tak butuh tim, cukup satu orang, satu stempel, dan satu printer.
Mantra suci “keterbatasan SDM” kembali digaungkan. Aneh, karena keterbatasan itu tak pernah menyentuh posisi kepala desa—hanya berlaku bagi rakyat biasa yang dianggap “kurang kompeten” untuk duduk di lingkar anggaran.
Barangkali dalam diklat rahasia, kepala desa dibekali ilmu serbaguna: jadi pengatur proyek, bendahara sakti, hingga dewa perencanaan lokal.
Dalam skema ini, Sekretaris Desa mendapat peran spiritual: hadir saat laporan akhir menjelang. Bukan untuk menyusun realitas, tapi untuk menyelaraskan imajinasi kekuasaan dengan angka-angka fiktif yang bisa dimasukkan ke Excel.
Ia sering tak tahu seperti apa proyeknya, dari mana uangnya, atau berapa alokasi riilnya. Tapi tetap harus menjelaskan kenapa laporan “belum bisa dicetak” saat ditanya inspektorat.
Sementara warga? Tenang saja. Perannya cukup sebagai figuran dalam drama pembangunan. Datang saat musyawarah, dengarkan monolog kegiatan, dan tepuk tangan sebelum nasi kotak dibagikan.
Jika ada yang bertanya kritis, cukup tempel label: “tidak memahami regulasi” atau “punya motif politik.” Kritik diredam secara halus, dibungkus senyum dan saran: “Kalau nggak puas, bikin desa sendiri aja.”
Proyek pun berjalan seperti biasa. Jalan beton retak seminggu setelah dicor, drainase berubah jadi kolam lele musiman, jalan yang mengelupas seolah tak pernah kena perekat, dan balai warga yang megah tapi selalu terkunci.
Tapi jangan risau—semua terdokumentasi. Foto-foto kegiatan dengan senyum lebar, spanduk ukuran XL, dan testimoni warga: “Kami bangga punya pemimpin visioner.” Realitas direkayasa dengan resolusi tinggi.
Pengawasan? Sekadar formalitas. Karena semua dokumen disusun dan dikendalikan oleh satu tangan, segala sesuatu bisa dipoles. Jika ditanya, semua bisa dijawab.
Jika diaudit, semua bisa dijelaskan. Dalam birokrasi desa modern, kebenaran adalah milik siapa yang memegang stempel, bukan siapa yang melihat langsung ke lapangan.
Regulasi sudah jelas. Tapi hukum hanya berlaku jika mengganggu stabilitas kekuasaan. Maka kepala desa kini tampil bukan sebagai pelayan publik, tapi sebagai manajer tunggal atas nama rakyat. Ia merancang, membelanjakan, sekaligus melaksanakan kegiatan.
Sedangkan rakyat cukup mengamini, sambil berharap ban motor tak lagi selip di jalan program pengaspalan yang split-nya rontok karena kekurangan aspal.
Desa ideal seharusnya tumbuh dari partisipasi, transparansi, dan gotong royong. Tapi dalam praktik “desa satu komando”, pembangunan bukan lagi soal kemajuan—melainkan mempertahankan ilusi.
Selama sistem ini dibiarkan longgar, dan celahnya dijaga agar tetap samar, maka pembangunan desa hanya akan berubah di layar presentasi, dalam notulen penuh retorika, sementara kenyataan tetap berkubang di tempat.
Dan kelak, saat kita melihat plang kegiatan bertuliskan: “Dari rakyat, oleh rakyat, untuk kesejahteraan satu orang yang dipercaya rakyat.”
Semoga kita sadar: yang kita bangun bukan desa, tapi panggung kekuasaan mikro berlabel demokrasi rasa monarki.
(Roy)