Example floating
Example floating
Sukabumi

Hari Otonomi Daerah: Apakah Desa Sudah Otonom?

×

Hari Otonomi Daerah: Apakah Desa Sudah Otonom?

Sebarkan artikel ini

Sukabumi – republiknews.com – Setiap 25 April, kita digiring masuk ke ruang penuh euforia bertajuk Hari Otonomi Daerah. Spanduk dikibarkan, pidato dilafalkan, dan jargon “daerah berdaya” kembali dikumandangkan.

Namun seperti biasa, kita terlalu sibuk merayakan ilusi yang belum menjelma realita. Salah satu ilusi paling nyaring namun paling minim bukti adalah: otonomi desa.

Ya, desa. Entitas yang secara yuridis dipuja dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014. Tapi sepuluh tahun sejak regulasi itu diteken, desa masih terjebak dalam romansa pasal—belum menapak ke dunia nyata yang dijanjikan undang-undang.

Di atas kertas, desa adalah subjek mandiri, berdaulat atas urusannya sendiri. Di lapangan? Desa adalah pasien rawat inap, tergantung hidup dari infus bernama Dana Desa.

Lalu otonomi macam apa yang hidupnya bergantung pada transfer bulanan dari pusat?

Kita menyebutnya “otonomi”, padahal yang terjadi adalah dependensi bersubsidi. Dulu, pusat mengatur lewat dokumen setebal bantal; sekarang, pusat menyuapi dana sambil membiarkan desa berpura-pura memilih menu sendiri.

Ironisnya, menu yang dipilih pun itu-itu saja: rabat beton, gorong-gorong, posyandu, dan gapura selamat datang—yang tampaknya lebih diniatkan untuk menyambut anggaran ketimbang menyambut warga.

Salah tafsir terhadap otonomi telah menjadikan dana pusat semacam cek kosong. Desa merasa diberi kuasa absolut, tanpa tanggung jawab absolut.

Padahal otonomi sejati bukan sekadar memilih proyek, tapi juga keberanian untuk membiayai hidup sendiri.

Kalau semua kebutuhan masih minta dari “orang tua”, lalu kapan kita belajar hidup tanpa susu formula?

Lebih gawat lagi, kita menyaksikan maraknya fenomena desa copy-paste. Programnya hanya ganti nama, bukan ganti paradigma.

Potensi lokal—pertanian, kerajinan, wisata—lebih sering masuk daftar “potensi yang belum tergarap”, alias belum pernah diseriusi.

BUMDes, yang digadang-gadang sebagai motor ekonomi desa, justru sering menjadi zombie administratif: hidup di atas kertas, mati di lapangan.

Lalu siapa yang salah? Pusat? Tidak sepenuhnya. Masalah utamanya bukan sekadar kekurangan dana, tapi defisit keberanian dan kekurangan nalar.

Banyak aparat desa tak punya kapasitas untuk merancang program berbasis potensi lokal—apalagi menjalankan usaha profesional.

Musyawarah desa pun kerap tampil sebagai sinetron musiman: naskah sudah ada, aktor sudah ditunjuk, warga cukup jadi penonton setia.

Sementara itu, pengawasan berjalan seperti tamasya: santai, longgar, dan seringkali absen. Proyek fiktif dan anggaran nyasar telah menjadi rahasia umum yang diamini bersama—selama jatah tetap merata. Transparansi pun berubah menjadi ornamen baliho, bukan budaya.

Jangan salah, pemerintah pusat tidak diam. Ada pelatihan, ada pendamping desa, ada aplikasi digital. Tapi tanpa kesadaran dari dalam, semua itu cuma pernak-pernik kosmetik.

Karena kemandirian tak bisa dibina jika desa sendiri belum merasa perlu membangunnya.

Maka izinkan saya menyimpulkan satu kalimat yang sederhana tapi menohok: selama PADes (Pendapatan Asli Desa) belum jadi tulang punggung pembangunan, otonomi desa hanya akan jadi upacara tahunan—dirayakan, tapi tak pernah hidup.

Otonomi tidak turun dari langit. Ia lahir dari keberanian untuk melepaskan diri dari ketergantungan. Dana pusat adalah pemantik, bukan bahan bakar utama.

Dan selama desa lebih rajin menyusun proposal ketimbang menggali potensi, maka otonomi sejati masih jauh dari genggaman.

Karena pada akhirnya, otonomi bukan tentang seberapa besar anggaran yang diterima, tapi seberapa kecil ketergantungan yang dipelihara.

(Budi. AF)

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *