Example floating
Example floating
Sukabumi

Ketika Ada Dugaan Mark Up Anggaran, Kepala Desa Berkilah: “Saya Kurang Paham RAB, Makanya Dibuatkan”

×

Ketika Ada Dugaan Mark Up Anggaran, Kepala Desa Berkilah: “Saya Kurang Paham RAB, Makanya Dibuatkan”

Sebarkan artikel ini
Mark up

Sukabumi – republiknews.com – Dalam dunia pengelolaan anggaran desa, istilah Rencana Anggaran Biaya (RAB) seharusnya menjadi kitab suci seorang kepala desa.

Tapi bagaimana jika sang pemimpin kampung justru berdalih tak paham kitab yang ia pakai membelanjakan uang rakyat?

Begitulah kenyataannya ketika muncul dugaan mark up dalam pengadaan proyek infrastruktur di salah satu desa.

Kepala desa yang dimintai klarifikasi malah menjawab ringan, “Saya kurang paham soal RAB, makanya RAB-nya dibikinkan.”

Pernyataan itu, alih-alih menjernihkan keadaan, justru menambah keruh air yang sudah berlumpur.

Logikanya, jika kepala desa tidak paham RAB, bagaimana ia bisa memastikan setiap rupiah yang dibelanjakan sesuai kebutuhan, bukan kepentingan?

Pengakuan ini justru membuka tabir lebih luas: bahwa ada kemungkinan pihak ketiga atau “orang dalam” yang diduga menyusun RAB secara manipulatif demi keuntungan pribadi atau kelompok.

Dengan kepala desa yang mengaku tak paham, tanggung jawab bisa dengan mudah dilempar—seolah ia hanya tukang tanda tangan.

Tapi hukum tidak bicara soal paham atau tidak paham. Dalam Undang-Undang Desa dan peraturan pengelolaan keuangan desa, kepala desa adalah penanggung jawab utama.

Tidak ada pasal pengecualian yang membebaskan karena “tidak paham.”

Ini bukan modus baru. Berkali-kali terungkap, proyek desa di-mark up, kualitas rendah, volume dipangkas, namun semua dokumen tetap “beres.”

Begitu diaudit atau diliput, muncullah dalih-dalih klise: “Saya hanya mengandalkan tim,” “sudah sesuai laporan,” atau yang paling favorit, “itu urusan TPK.”

Sementara rakyat desa masih meniti jalan tanah yang berlumpur, sumur yang tak berfungsi, dan balai desa yang retak sebelum difungsikan. Dana ratusan juta habis, tapi hasilnya tak sebanding.

Lantas, untuk apa kepala desa dipilih jika urusan teknis dan administratifnya semua diserahkan pada orang lain tanpa pengawasan? Apakah jabatan ini hanya sebatas status dan stempel? Ataukah memang disengaja agar celah mark up bisa tetap terbuka dengan alasan ketidaktahuan?

Yang lebih menyakitkan, ketika rakyat dikibuli atas nama pembangunan, dan kepala desa cukup berkata: “Saya nggak paham RAB.” Seolah itu adalah tameng suci yang melindungi dari jerat hukum dan pertanggungjawaban moral.

(Roy)

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *