Example floating
Example floating
PendidikanSukabumi

Kurikulum Ribet, untuk Masa Depan yang Tidak Pernah Datang

×

Kurikulum Ribet, untuk Masa Depan yang Tidak Pernah Datang

Sebarkan artikel ini

Sukabumi – republiknews.com – Setiap kali Menteri Pendidikan berganti, kurikulum pun ikut “dioperasi plastik.” Dari CBSA, KBK, KTSP, Kurikulum 2013, hingga Kurikulum Merdeka, semuanya hadir dengan jargon baru, dengan klaim paling relevan untuk menjawab masa depan.

Ironisnya, “masa depan” yang dimaksud sering hanya bertahan sampai menteri berikutnya dilantik.

Pertanyaan mendasarnya sederhana: apa gunanya kurikulum hari ini, jika ia tidak akan terpakai di dunia nyata 15 tahun ke depan?

Membuat kurikulum itu seperti meramal cuaca dua dekade mendatang. Hari ini anak diajari dengan asumsi dunia kerja tahun 2040. Padahal, dunia kerja 2040 bisa saja dihuni profesi yang belum ada sekarang.

Dua puluh tahun lalu, tidak ada yang bermimpi menjadi Youtuber, AI ethicist, atau drone operator. Lalu, apa jaminannya kurikulum hari ini tidak akan basi sebelum matang?

Namun tetap saja, kita sibuk menyusun silabus seolah bisa memetakan masa depan. Bukankah ini mirip birokrat yang percaya bisa mengendalikan arah angin dengan stempel kantor?

Kurikulum ribet ini akhirnya menurunkan efek samping: guru jadi sibuk mengikuti pelatihan kilat, belajar istilah baru, menyesuaikan administrasi yang tak pernah selesai.

Murid pun kebingungan: hari ini belajar dengan pendekatan kompetensi, besok proyek, lusa literasi numerasi.

Mereka bukan sedang belajar, melainkan sedang “disesuaikan” dengan eksperimen kebijakan.

Singkatny, kelas berubah menjadi laboratorium politik, bukan ruang mendidik manusia.

Padahal, dunia boleh berubah, teknologi boleh berganti, tapi ada hal-hal yang selalu relevan. Itulah yang mestinya menjadi inti pendidikan:
• Literasi dasar (membaca, menulis, dan berhitung).
• Kemampuan berpikir kritis.
• Kreativitas dan inovasi.
• Komunikasi dan kolaborasi.
• Empati dan etika.
• Kemandirian serta daya tahan mental.

Ini bukan sekadar mata pelajaran, melainkan fondasi hidup. Anak yang dibekali keterampilan abadi ini tidak akan gentar menghadapi pekerjaan yang bahkan belum ditemukan hari ini.

Seharusnya, kurikulum diperlakukan sebagai kompas, bukan peta detail. Peta bisa basi begitu medan berubah, sementara kompas selalu memberi arah.

Pendidikan mestinya menyiapkan anak menemukan jalannya sendiri di dunia yang tidak pasti.

Sayangnya, kita justru terjebak dalam kurikulum yang penuh indikator, rubrik, dan administrasi. Saking ribetnya, sekolah seperti lupa bahwa yang dididik itu manusia, bukan formulir.

Apakah kurikulum perlu diganti? Tidak selalu. Yang perlu adalah menyederhanakan, bukan memperumit. Daripada gonta-ganti nama dan model, lebih baik fokus memperkuat yang dasar: guru, fasilitas, budaya belajar.

Karena kurikulum secanggih apapun tidak akan berguna jika guru masih digaji setara tukang parkir, atau sekolah masih kesulitan menyediakan toilet yang layak.

Maka, pertanyaan terakhir: apakah kurikulum ribet ini sungguh untuk masa depan anak, atau hanya untuk masa depan pejabat yang ingin meninggalkan jejak?

Kalau jawabannya yang kedua, maka kurikulum kita memang berhasil. Bukan mendidik anak bangsa, melainkan mendidik ego penguasa.

(Budi AF)

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *