Example floating
Example floating
Sukabumi

Hari Kartini: Sekolah Masih Jadi Proyek, Bukan Perjuangan”

×

Hari Kartini: Sekolah Masih Jadi Proyek, Bukan Perjuangan”

Sebarkan artikel ini

Sukabumi – Republiknews.com – Sudah lebih dari satu abad sejak Raden Ajeng Kartini menuliskan kegelisahannya dalam surat-surat yang kini kita baca sambil mengenakan kebaya dan memajang bunga plastik.

Dan seperti biasa, setiap tanggal 21 April, bangsa ini kembali merayakan Hari Kartini dengan penuh semangat simbolik—lengkap dengan lomba busana, puisi berjudul “Ibu Kita Kartini”, dan pidato pejabat yang entah pernah membaca Habis Gelap Terbitlah Terang atau belum.

Kartini pernah menulis bahwa pendidikan adalah jendela pembebasan. Namun sekarang, jendela itu sudah dibor dan ditutup kembali.

Di banyak daerah, sekolah bukan lagi tempat mencerdaskan kehidupan bangsa, melainkan proyek bersampul APBD yang lebih banyak dibahas di ruang-ruang pendingin AC ketimbang di ruang kelas yang bocor.

Murid disuruh “merdeka belajar”, tapi guru dicekik oleh aplikasi pelaporan, target administrasi, dan evaluasi berlapis yang kadang bahkan tak dimengerti oleh para pembuat kebijakan itu sendiri.

Ini bukan “merdeka belajar”—ini belajar bertahan hidup di tengah kegagapan sistem dan ketidakjelasan arah pendidikan nasional.

Kita bangga karena kini lebih banyak perempuan yang bisa mengenyam pendidikan tinggi. Tapi fakta di lapangan menunjukkan bahwa angka itu tidak selalu berbanding lurus dengan kesempatan yang setara.

Masih banyak perempuan pintar yang harus minta izin untuk berpikir, minta maaf karena berambisi, dan minta pengertian karena berani bersuara.

Apakah ini maksud Kartini? Bahwa perempuan boleh sekolah tinggi asal tidak terlalu vokal? Boleh jadi sarjana asal tidak mengganggu superioritas patriarki yang kini dibungkus dengan istilah “kodrat”

Cita-cita Kartini, jika ditilik dalam konteks kekinian, tampaknya lebih banyak dimuseumkan.

Kita abadi­kan namanya di jalan protokol, gedung pertemuan, dan tentunya—di momen seremoni tahunan. Tapi suaranya nyaris hilang dari ruang-ruang kebijakan.

Kartini ingin kaum pribumi—baik laki-laki maupun perempuan—bebas berpikir, bebas memilih jalan hidup, dan bebas dari kebodohan struktural.

Tapi apa daya, dalam praktiknya, berpikir kritis sering dianggap makar, dan suara perempuan dianggap bising kalau terlalu nyaring.

Pada akhirnya, kita memang jago berpesta. Kita rayakan Hari Kartini seperti merayakan ulang tahun seseorang yang tidak kita kenal, tapi kita hormati karena ada di kalender nasional.

Kita tidak benar-benar membaca gagasannya, tidak betul-betul meneladani keresahannya. Kita hanya menjadikannya topeng—untuk menutupi kegagalan kita membangun sistem pendidikan yang adil dan setara.

Dan jika Kartini hidup hari ini, barangkali dia akan menulis surat lagi. Bukan kepada Rosa Abendanon, tapi kepada bangsa yang terlalu sibuk mengatur seragam sekolah daripada memperjuangkan isi kepala.

Kepada negara yang lebih takut kehilangan kontrak proyek pendidikan daripada kehilangan satu generasi pemikir.

Selamat Hari Kartini. Jangan Lupa, Bunga Itu Plastik.

(Budi AF)

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *