Example floating
Example floating
PendidikanSukabumi

Guru Ilegal yang Mengajar Murid Sah, Siapa yang Salah

×

Guru Ilegal yang Mengajar Murid Sah, Siapa yang Salah

Sebarkan artikel ini

Sukabumi, Republiknews.com -Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) secara tegas menyatakan bahwa perekrutan pegawai, termasuk guru, hanya boleh dilakukan melalui mekanisme rekrutmen resmi pemerintah.

Aturan di atas diperkuat dengan berbagai regulasi turunan, termasuk larangan bagi sekolah untuk merekrut guru honorer baru di luar sistem serta larangan penggunaan dana BOS untuk menggaji guru yang tidak tercatat dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik).

Kedengarannya rapi dan tertib. Regulasi dibuat agar pendidikan punya kepastian hukum, tidak semrawut, tidak ada yang asal masuk kelas tanpa legalitas.

Tapi mari kita buka pintu sekolah di awal tahun ajaran baru. Fakta di lapangan sering kali lebih keras dari pasal-pasal hukum.

Pemerintah selalu bangga dengan Dapodik—Data Pokok Pendidikan yang disebut lengkap, akurat, bahkan jadi dasar semua kebijakan.

Di dalamnya tercatat jumlah siswa, jumlah rombel, jumlah guru, lengkap dengan status kepegawaian. Seolah tidak ada yang luput.

Namun begitu lonceng tahun ajaran baru berbunyi, banyak sekolah justru kelabakan: rombel bertambah, guru tetap tidak bertambah.

Ada yang pensiun, pindah tugas, atau sekadar overload jam mengajar. Hasilnya? Kelas-kelas kosong tanpa guru.

Sekolah tidak punya pilihan selain merekrut guru honorer baru. Masalahnya, guru baru ini tidak tercatat di Dapodik, tidak masuk formasi resmi, dan tidak boleh digaji dari dana BOS.

Maka jadilah mereka disebut apa? Ya, guru ilegal—mengajar murid sah, di kelas sah, dengan jam sah, tapi tanpa status sah.

Karena aturan keras soal BOS, sekolah akhirnya bermain “siasat”. Ada yang memutar biaya lewat komite, ada yang menyamarkan honor ke pos kegiatan lain, ada pula yang membuat absensi seolah guru lama masih mengajar.

Semua trik dilakukan hanya demi menyelamatkan kelas agar tetap berjalan.

Apakah ini salah sekolah? Tidak juga. Faktanya, negara tahu persis jumlah rombel kosong. Itu semua ada di Dapodik.

Kalau data lengkap sudah ada di pusat, mengapa sekolah masih harus menyiasati SPJ hanya untuk membayar guru? Bukankah logikanya sederhana: data ada, kebutuhan ada, solusi seharusnya juga ada?

Ironinya, sekolah yang patuh aturan justru bisa lebih sengsara. Mereka yang menolak “bermain siasat” terpaksa membiarkan murid menunggu tanpa guru. Regulasi memang ditegakkan, tapi akal sehat justru dikesampingkan.

Beginilah wajah pendidikan kita: negara bisa memvalidasi data, tapi tidak bisa mengisi kekosongan.

Sekolah dipaksa kreatif, guru dipaksa ikhlas, dan murid dipaksa menerima kenyataan bahwa guru mereka kadang dianggap “tidak sah”.

Maka lahirlah fenomena guru ilegal: hadir secara fisik, nyata mengajar, namun di mata negara tak lebih dari bayangan. Bayangan yang selalu ada, tapi tidak pernah dianggap.

Dan di sinilah pertanyaan satir itu muncul: kalau muridnya sah, rombelnya sah, datanya sah, kenapa gurunya justru tidak sah?

(Budi AF)

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *