Example floating
Example floating
Uncategorized

Hari Pramuka: Tunas Bangsa di Pot Tanpa Tanah

×

Hari Pramuka: Tunas Bangsa di Pot Tanpa Tanah

Sebarkan artikel ini

Sukabumi – Republiknews.com – Hari Pramuka kembali datang. Seperti biasa, halaman kantor pemerintahan akan dipenuhi barisan seragam cokelat yang rapi, spanduk besar terpasang dengan slogan penuh semangat, dan pidato pejabat mengalun indah di udara.

Kamera pun sibuk menangkap momen yang tampak gagah, memastikan setiap sudut terlihat sempurna. Semua terasa khidmat—setidaknya di foto dan siaran berita resmi.

Namun di balik seremoni, ada kenyataan yang jauh dari citra yang dipamerkan. Gerakan Pramuka, yang dahulu dibangun untuk menanamkan disiplin, kemandirian, dan kepedulian sosial, kini di banyak tempat berjalan seperti mesin tua yang hidup hanya karena kebiasaan, bukan karena dukungan.

Latihan rutin berjalan jika sempat, pembina bekerja dengan sumber daya yang “sederhana” istilah sopan untuk mengatakan: nyaris tanpa fasilitas.

Fasilitas latihan? Kalau tersedia, anggaplah itu keberuntungan. Jika tidak, ya itu bagian dari “pendidikan bertahan hidup” yang katanya bisa membentuk mental kuat.

Tenda bocor, bendera regu lusuh, kompas yang jarumnya sudah malas berputar—semua dianggap tantangan, bukan masalah.

Pemerintah sering berpidato bahwa Pramuka membentuk karakter bangsa. Pernyataan itu benar adanya.

Pertanyaannya: karakter siapa yang sedang dibentuk? Anak-anak yang terlatih mengatasi kekurangan, atau pejabat yang semakin piawai tampil percaya diri di panggung seremoni?

Birokrasi tampaknya memiliki resep unik untuk membina generasi muda: cukup berikan mereka semangat, lalu biarkan mereka mencari sendiri alat, biaya, dan metode.

Anggaran? Oh, itu urusan lain. Lagi pula, bukankah kreativitas konon lahir dari keterbatasan? Dalam logika ini, kekurangan fasilitas justru dianggap bonus latihan.

Masalahnya, karakter tidak tumbuh dari slogan atau pidato setahun sekali. Karakter tumbuh dari pembiasaan yang konsisten, dukungan yang nyata, dan perhatian yang tidak musiman.

Selama Pramuka diperlakukan sebagai hiasan acara tahunan—ramai saat upacara, sepi setelahnya, tunas bangsa ini akan terus tumbuh di pot tanpa tanah: hidup sekadarnya, bertahan dengan akar yang terhimpit, dan kerdil sebelum waktunya.

Dan mari kita jujur, penyebab utamanya bukan pada anak-anak yang kurang semangat, melainkan pada pola pikir yang menempatkan pendidikan karakter di urutan belakang prioritas.

Proyek fisik mudah dianggarkan karena terlihat nyata di mata publik, sedangkan pembinaan moral dan keterampilan dianggap tidak mendesak—karena hasilnya tak bisa dipotret dalam satu periode jabatan.

Selamat Hari Pramuka. Semoga suatu saat nanti, yang kita siram bukan hanya citra untuk media, tetapi akar yang sesungguhnya.

Karena tunas bangsa ini tidak butuh sekadar cahaya lampu upacara dan tepuk tangan di podium; ia membutuhkan tanah subur dari komitmen, air dari perhatian berkesinambungan, dan perlindungan dari angin kencang birokrasi yang hanya pandai berbicara.

(Budi AF)

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *